Selasa, 26 Februari 2013

DOKTER & DETAILER vs PASIEN

Beberapa hari yang lalu, aku dan suami 3 hari berturut-turut menjenguk para sahabatku yang sakit dan harus mondok di RS, ada yang sakit biasa sampai ada juga yang sdh kritis dan kalaupun tidak ada perkembangan bisa juga pasien masuk ICU, dan aku juga bisa geleng2 kepala stelah diberitahu temanku bahwa biaya nginep di ICU/hari Rp 7juta-an, Ya Allah Ya Rabbii...belum lagi kalau ada tambahan ventilator, alat untuk membantu nafas buat pasien bisa menembus Rp 10jt-an/hari...MasyaAllah....kasihan sekali keluarga yang tidak punya jika tidak ada asuransi dlsb. Bersyukurlah bagi orang2 yang masih diberikan kesehataan sampai sekarang, tidak pernah masuk RS dan harus menanggung beban mental maupun material yang begitu tinggi.

Disalahsatu RS di semarang, di sela-sela aku menengok adik temanku yang masih kritis, sambil menunggu temanku yang masih berkonsultasi dengan dokter, aku melihat banyak sekali para detailer di ruang tunggu, malah banyak detailernya daripada pasiennya yang berobat. Jadi mikir, ini sebenarnya siapa yang sangat diuntungkan dan dirugikan dalam kegiatan para detailer yang bekerjasama dengan para dokter itu?



Ini ada artikel yang menarik tentang mereka, semoga bermanfaat untuk teman2 yang membacanya..

Jawa Pos - Selasa, 09 Jan 2007,tik
Menguak Tabir Dokter-Detailer 

"DOK, kok kemarin saya cek tanda tangannya cuma sedikit? Minggu depan tambah ya, Dok. Biar nanti bonusnya juga tambah banyak," kata Sinta. 


"Iya, iya. Gampang deh," jawab Gani sambil menandatangani selembar kertas yang merupakan daftar kunjungan detailer. 


Itulah cuplikan percakapan antara detailer dan dokter "rekanan"-nya. Ya, detailer itu adalah Sinta (bukan nama sebenarnya, Red), sedangkan dokter "rekanan"-nya adalah Gani (juga nama samaran). Keduanya sudah lama menjalin hubungan "istimewa" yang saling menguntungkan. Apa itu?


Sudah menjadi rahasia umum bila hubungan antara kalangan kedokteran dan perusahaan farmasi bagaikan prangko dengan amplop. Keduanya saling membutuhkan. Dokter pasti selalu bersentuhan dengan obat-obatan, sedangkan perusahaan farmasi berkepentingan memasarkan sebanyak mungkin produknya. 


Tak heran kemudian terjadi "keakraban" antara dokter dan perusahaan farmasi yang diwakili para detailer (sales obat) itu. Sebab, kedua pihak mempunyai kepentingan yang hampir sama: mendapatkan keuntungan yang besar dari penjualan (peresepan) obat ke pasien. Perusahaan farmasi sangat berharap dokter-dokter "rekanan"-nya bersedia membeli dan atau meresepkan obat-obat produknya. Sementara para dokter berharap mendapatkan potongan harga yang besar, komisi, atau hadiah (reward) dari "bantuannya" menjualkan/meresepkan obat-obatan keluaran perusahaan farmasi itu. 


"Lho, itu kan bukan yang aneh di dunia kedokteran. Lihat saja di rumah-rumah sakit atau di klinik-klinik praktik dokter, pasti banyak detailer yang antre di ruang tunggu dokter rekanannya," ungkap Gani yang membantah bahwa hubungannya dengan para detailer semata-mata hubungan yang berkaitan dengan penjualan obat produk perusahaan farmasi tertentu kepada pasien. 


Ya, begitulah yang terjadi. Bagi kalangan awam, keberadaan para detailer yang mangkal di RS-RS atau klinik praktik dokter, memang sepertinya pemandangan yang biasa. Masyarakat pun tak pernah mengkritisi atau bahkan protes tentang hubungan yang "harmonis" dokter dan detailer itu. Padahal, bisa jadi, dari hubungan itu, para pasienlah yang menjadi "korban".


Suatu sore, Jawa Pos mengunjungi tempat praktik dokter A di kawasan Surabaya Timur. Saat itu, lima detailer dengan sabar menunggu dokter "rekanan"-nya yang sedang memeriksa para pasien. Dari lima sales obat itu, ada yang membawa keranjang berisi buah-buahan, ada juga yang membawa kardus berisi DVD player. 


Detailer yang membawa DVD player itu mengaku bernama Doni. Dia membawa "bingkisan" untuk diserahkan kepada dokter A. Bingkisab tersebut merupakan reward perusahaan Doni atas kerja sama dokter A selama ini. 


"Dokternya sih nggak minta. Kebetulan, di tempat praktiknya, tidak ada DVD. Makanya, saya kasih," ucap Doni beralasan. 


Bagi masyarakat awam, jawaban Doni itu mungkin membingungkan. Kenapa Doni harus memberi DVD player padahal dokter A tak memintanya. Setelah ditanya lagi, laki-laki 25 tahun itu bercerita bahwa DVD player itu untuk membina hubungan baik dengan dokter A. Karena dokter A telah meresepkan obat produk perusahaan farmasi tempat kerja Doni dalam jumlah besar. "Makanya, Pak Dokter layak mendapat hadiah. Biar dokternya mau terus meresepkan obatku," tambahnya terus terang.


Itulah salah satu trik yang harus dilakukan detailer untuk melanggengkan hubungan bisnis dengan para dokter rekanannya. Bahkan, bila perlu, si detailer memenuhi keinginan atau kebutuhan si dokter. "Makanya, kita harus bisa menangkap sinyal-sinyal yang diberikan sang dokter. Karena, kerap keinginan itu tak disampaikan secara langsung," lanjut Doni yang enggan menyebut nama perusahaannya. 


Tak hanya trik itu saja yang dipakai untuk "merayu" dokter. Masih banyak cara lain yang dilakukan detailer agar obatnya diresepkan dokter "rekanan"-nya. Misalnya, iming-iming diskon atau bonus bila membeli obat tertentu dalan jumlah besar. Hal ini biasanya dilakukan oleh dokter yang langsung memberikan obat ke pasien. Atau, dokter yang secara langsung meminta pasien untuk membeli obat di apotek tertentu. 


Menurut Anto, sumber di kalangan medis, indikasi-indikasi tersebut menunjukkan adanya "kolusi" antara dokter dan perusahaan farmasi. "Detailer akan lebih mudah menghitung jumlah obat produksinya yang diresepkan dokter, bila hubungan itu berjalan dengan lancar," jelasnya. "Dengan begitu, bonus atau diskon yang diterima dokter juga makin besar dan jelas," tambah Anto yang wanti-wanti tak mau ditulis identitasnya secara lengkap ini.


Anto mengaku bahwa dia memang pernah memanfaatkan kerja sama yang dijalinnya dengan perusahaan farmasi. Bahkan, untuk kepentingan pribadi sekalipun. Seperti, ketika menghadiri acara keluarga di Jakarta, dia meminta perusahaan farmasi yang cukup akrab dengannya, untuk menyediakan akomodasi selama di ibu kota. "Hal tersebut sudah saya lakukan berkali-kali," jelasnya. 


Kompensasinya, kata Anto, sudah jelas. Yakni, dia harus meresepkan obat-obatan produksi farmasi tersebut dalam jumlah tertentu. "Ada hitungannya, tapi saya lupa," ungkapnya. 


Namun, dokter berusia 40 tahun ini mengelak bila hal tersebut dianggap kolusi. Dia beranggapan bahwa hubungan tersebut adalah bentuk kerja sama simbiosis mutualisme. "Saya kan sudah melariskan obatnya," lanjutnya. "Saya tidak pernah minta secara berlebihan. Apalagi, sampai minta dibelikan barang-barang mewah. Makanya, permintaan saya itu masih wajar," imbuhnya.


Bila Anto sering memanfaatkan kerja sama dengan perusahaan farmasi, Dedi --sebut saja nama seorang dokter-mengaku tidak melakukan hal yang sama. Bahkan, dia berpendapat kalau detailer enggan mendekatinya. Ini karena dia cukup strick memperlakukan seorang detailer. Bahkan, dia akan marah besar bila ada detailer di tempat praktiknya. "Saat praktik kan untuk melayani pasien. Jangan sampai ada yang mengganggu," ucapnya.


Dedi lantas bercerita bahwa sejak lulus FK, dia sudah ditawari obat oleh detailer. Semua detailer dari perusahaan farmasi pernah mendekatinya. Namun, dia menolaknya secara halus. Sebab, Dedi mengaku praktik di kantong-kantong masyarakat miskin. Oleh karena itu, dia jarang meresepkan obat paten kecuali terpaksa. "Kasihan pasien saya kalau harus membayar obat mahal. Padahal, ada yang murah," jelasnya.


Menurut Dedi, tak hanya kalangan detailer yang mempengaruhinya dalam peresepan obat. Bahkan, rekan sejawatnya juga melakukan hal tersebut. Hal itu sering kali diungkapkan oleh rekannya. "Dalihnya, saya ditraktir makan. Ternyata, saat makan itulah, dia memprospek untuk meresepkan obat dari farmasi tertentu," tuturnya. "Langsung saya tolak. Karena saya tidak mau ada yang mempengaruhi dalam peresepan obat," lanjutnya.


Hal yang sama berlangsung ketika dia menggantikan praktik teman sejawatnya. Saat itu, teman sejawatnya minta Dedi untuk meresepkan obat yang biasa digunakannya. "Saya langsung tidak mau. Di kedokteran, penguasa tunggal peresepan obat di tangan si dokter. Tidak boleh dipengaruhi orang lain," ucap dokter berusia 35 tahun ini. 


Prof dr HM Sajid Darmadipura SpBS, ketua KMEK (Komite Majelis Etik Kedokteran) Surabaya, mengakui kerja sama antara detailer dan dokter kerapkali terjadi. Bahkan, menurut Sajid, banyak juga PBF-PBF (pedagang besar farmasi) yang memberi hadiah-hadiah ke dokter. Tak hanya itu, berbagai fasilitas juga didapat dokter. Misalnya, bepergian atau berkunjung ke Eropa, mengikuti seminar internasional, maupun memperoleh keuntungan materi. "Sepanjang hal itu tidak mempengaruhi independensi profesinya, tidak masalah," ujarnya.


Namun, dia tidak memungkiri bila ada dokter-dokter 'nakal' yang membalas "hadiah" yang diberikan para PBF tersebut. Dia mencontohkan, dokter yang menganjurkan pasien untuk memeriksakan ke laboratorium pemberi hadiah tersebut. "Padahal, pasien rumahnya di Rungkut, namun dokter menganjurkan untuk memeriksakan ke laboratorium di Perak, milik pemberi hadiah tersebut," terangnya. Selain itu, juga meresepkan obat produksi PBF tertentu, padahal sebenarnya pasien bisa diresepkan obat generik. 


Apakah yang dilakukan dokter tersebut melanggar kode etik kedokteran? Dijelaskan Sayid, dalam kode etik kedokteran pasal 3 yang berbunyi "Dalam melakukan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi". "Dalam kode etik kedokteran, bila ternyata pemberian itu mempengaruhi profesinya, hal itu melanggar. Sanksi etik ialah moral. Karena, moral itu tidak dapat diukur, maka dikembalikan lagi ke nuraninya sebagai seorang dokter," ujarnya.


Sajid tidak menyetujui, bila selama ini ada persepsi dari masyarakat yang mengatakan bahwa dokter tidak tersentuh hukum. Dijelaskan Sajid, dalam UU Praktek Kedokteran nomor 29 tahun 2004, pasal 73, ada tiga hal sanksi yang bisa mengenai dokter. 


Pertama, sanksi disiplin bila menyangkut ketidak puasan pasien atas pelayanan yang diberikan dokter. Yang menangani persoalan itu ialah MKDI (Majelis Kehormatan Disiplin Indonesia). Sanksi yang diberikan oleh MKDI merupakan sanski pendidikan. "Bila MKDI menerima pengaduan pasien terkait masalah pelayanan dokter yang tidak memuaskan, MKDI bisa memberi peringatan hingga mencabut surat ijin prakteknya. ," ujarnya. Kemudian, dokter itu diwajibkan mengkikuti program pendidikan kembali. Setelah itu, untuk mendapatkan kompetensinya yang pernah dicabut itu, dokter tersebut harus melakukan registrasi lagi.


Kedua, sanksi etik diberikan ketika terjadi pelanggaran etik. Misalnya, kerjasama PBF-dokter yang memperngaruhi independensi dokter tersebut. Yang menangani persoalan itu ialah KEMK (komite etik majelis kedokteran). Bentuk sanksi yang diberikan mulai dari peringatan lisan hingga tertulis. "Dalam batas pelanggaran tertentu, kami bisa memberikan sanksi berupa mengumumkan nama dokter yang melanggar etika tersebut ke media massa," tuturnya. 


Dia menambahkan, bila profesi dokter juga tidak kebal hukum. Seorang dokterpun bisa terkena sanksi pidana. Dia mencontohkan, seorang dokter yang melakukan tindakan aborsi tanpa alasan medis yang kuat, bisa terjerat sanksi pidana. "Karena apa yang dilakukannya termasuk perbuatan kriminal," jelasnya.


Karena itu, menurut Sajid, sebagai profesi, dokter harus membekali lima asas etika. Yakni, benefence, apa yang dilakukan dokter harus memberi keuntungan. Kedua, asas non maleficiense, perbuatan yang tidak merugikan orang lain. Ketiga, asas otonomi yaitu, memperlakukan pasien sebagai subyek ukan obyek.. "Termasuk, kemandirian yang harus dimiliki dokter," ungkap Sajid yang juga menjabat sebagai Kepala Bioetik FK Unair. 


Keempat, asas kejujuran yang harus dimiliki dokter terhadap pasien maupun masyarakat. Terakhir, asas confidiencely, dimana dokter tidak boleh menyiarkan stigma pasien. Seperti , kecacatan atau penyakit yang diderita pasien. "Bila dokter memegang kelima asas etik yang berlaku universal tersebut, saya pikir kasus-kasus pelanggaran etik tidak perlu terjadi," tukasnya. (tim jp)



Dari browsing internet yang berasal dari >> http://ridhanif.multiply.com/reviews/item/4.




6 komentar:

  1. Nice article bu,,, memang hal ini ada, tapi susah dibuktikan. Kejadian ini bisa ada karena layaknya hukum pasar, penawaran jauh lebih besar dari permintaan, sehingga perusahaan farmasi harus bersaing ketat dengan kompetitornya agar produknyalah yang dipakai, dan akhirnya menimbulkan ekses negatif seperti ini. Coba silakan cek, ada berapa perusahaan farmasi yang memiliki produk berisi amoxicillin? atau allopurinol misalnya... mestinya pemerintah dan IDI harus bergerak mengatasi hal ini,,, sebab harga obat menjadi mahal, karena ongkos promosi tinggi yang dibebankan ke dalan harga jual obat tersebut... hmmm, kalau ibu berkenan, silakan kunjungi blog saya untuk mengetahui lebih jauh lagi mengenai Medical Representative. Terima kasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih pak/bu...saya cuma share pengalaman pribadiku dan kebetulan ada artikel yang berkaitan tentang itu, link blognya mana ya pak/bu? :)

      Hapus
    2. Monggo, silakan langsung ke www.ayahsafa.blogspot.com. Blog tersebut sekedar berbagi pengetahuan sebagai seorang medreps,, 8 tahun saya berkecimpung di dunia tersebut, sekarang sdh tdk lagi,,,sehingga ada sedikit perubahan terhadap cara pandang saya terhadap profesi dokter...

      Hapus
    3. terimakasih..ijin mampir ke blognya ya pak/bu...

      Hapus
  2. yang buat artikel ini tolol. ini bukan kolusi. saya ambil contoh: ketika dokter memang harus memberikan parasetamol kepada pasien, maka dokter akan memberikan parasetamol dari perusahaan obat tempat dia kerjasama karena kan parasetamol kan banyak merek setiap perusahaan obat ada parasetamol masing masing TAPI YA SEMUA PARASETAMOL.jadi pasien tidak dirugikan. JADI dokter tidak memberikan obat yang memang tidak diperlukan pasien karna kerjasama ini,hanya mengarah ke merek nya saja. karna tidak ada obat tanpa merek kan? walaaupun tidak kerjasama juga pasti mengarah ke obat perusahaan tertentu.

    BalasHapus
  3. Silakan baca ebook Medical Representative ini agar pemahaman terhadap profesi ini jadi lebih komprehensif. Masalah kolusi anatara perusahaan farmasi dan dokter, itu berpulang kembali kepada dokter dan perusahaan farmasinya, selama masih ada keinginan kuat untuk memegang teguh kode etik pemasaran, maka hal-hal seperti itu tidak akan terjadi..

    BalasHapus